BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana dimaklumi bahwa perkembangan pendidikan
disuatu negara ditentukan oleh kerjasama kondusif antara berbagai pihak. Mulai
dari pihak eksekutif, legislatif, masyarakat pengguna pendidikan, dan berbagai
stakeholders lainnya. Kerjasama tersebut harus berjalan secara konsistensi dan
terintegrasi dengan baik untuk tercapai tujuan dan target pembangunan
berkualitas dan bermartabat.
Sementara itu, pendidikan nasional bertujuan
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri,
etis dan demokratis, serta memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan. (UU No.
20 Sisdiknas : 2003).
Untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja membutuhkan
proses yang panjang dan sistematis, konseptual serta serius. Sebagian besar
kalangan menganggap masalah pendidikan merupakan faktor utama sebagai solusi
dari keterpurukan kualitas sumber daya manusia dan aspek-aspek lainnya.
Mackie, (dalam Jazadi:1999) mengatakan fakta sejarah
yang menegaskan keterpurukan kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini, yakni negara Indonesia
merupakan salah satu negara berpenghasilan rendah di dunia. Hal ini terutama
disebabkan oleh kurangnya kemampuan kompetisi kita ditingkat dunia. Misalnya,
menurut program pembangunan PBB (UNDP). Pada tahun 2002 indeks SDM Indonesia
berada diurutan -110 dari 173 negara. Rendahnya daya kompetisi tersebut tidak
dapat dipisahkan dengan kualitas hasil pendidikan nasional kita. Misalnya,
dalam mata pelajaran IPA dan Matematika, dalam dua survey internasional,
prestasi siswa Indonesia berada pada peringkat -33 dan 35 pada masing-masing
mata pelajaran ini dari 35 negara yang mewakili Asia, Afrika, Amerika dan Eropa
(Suyanto.2002).
Dari aspek lokal, salah satu penelitian yang dilakukan
di SLTP dan SMU negeri se-pulau Lombok menunjukkan bahwa di kelas yang terdiri
dari rata-rata 40 siswa, hanya ada sekitar 4-6 atau sekitar 10-15% siswa yang
berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar (Jazadi.2003).
Data-data tersebut menunjukkan bahwa kurikulum yang
telah dilaksanakan sebelumnya belum mampu mendongkrak semangat dan
produktifitas belajar siswa yang berimplikasi pada prestasi belajar siswa
meskipun kurikulum yang ada telah mengalami perubahan dan penyempurnaan dengan
memperhatikan aspek kontekstual dan tekstual dari tahun 1968 sampai kurikulum
1994, namum kenyataannya belum menunjukkan
perubahan mutu sumber daya manusia yang signifikan justru sebaliknya,
mengalami keterpurukan yang cukup mengkhawatirkan sebagaimana yang disebutkan
di atas.
Pada tahun 2004 kesekian kalinya pemerintah mengadakan
perubahan kurikulum yakni diberlakukannnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
adanya perubahan kurikulum yang berulang-ulang memunculkan pameo “kabinet berubah,
kurikulum pun berubah”. Beragam pendapat bermunculan menanggapi penerapan
kurikulum tersebut mulai dari yang paling optimis sampai apatis.
Ditinjau secara akademis memang harus ada kontekstual
sebuah ilmu mengingat situasi masyarakat dan region yang terus-menerus
mengalami perubahan dari masa ke masa. Sebagai salah satunya adalah
penyempurnaan kurikulum yang dapat melayani keanekaragaman kemampuan sumber
daya manusia, kemampuan siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah.
Penyempurnaan kurikulum tersebut
dikmaksudkan untuk menjawab tantangan
dunia pendidikan.
Boleh dikatakan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi yang
telah dijalankan dan mengalami penyempurnaan melalui kurikulum baru berdasarkan
PP No. 19 tahun 2005 tentang aturan pelaksana dari undang-undang sistim
pendidikan nasional tahun 2003 sebagai upaya regionalisasi konsep pendidikan,
sebab titik tekan dari kurikulum tersebut adalah optimalisasi potensi lokal
sehingga siswa-siswa dapat memahami dan menghargai serta akrab dengan
lingkungan sendiri.
Lebih khusus, ditinjau dari aspek non akademis
penerapaan KBK dibeberapa sekolah percontohan di Kota Mataram mengisyaratkan
adanya perubahan aktivitas belajar siswa sebagai sesuatu yang berbeda dari
pandangan umum sebelum penerapan KBK, sebelum penerapan KBK kadang-kadang siswa
terlihat santai dalam menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) lebih-lebih ketika
menerima materi pelajaran sehari-hari. Padahal yang diperlukan dalam semua
disiplin ilmu seperti pendidikan, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya
adalah proses dan untuk dunia pendidikan proses tersebut adalah belajar.
Para ahli mendefinisikan belajar sebagai modifikasi atau memperteguh
kelakuan melalui pengalaman (learning is
defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing).
Berdasarkan pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan
bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih
luas dari itu. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan
perubahan kelakuan (Oemar Hamalik, 2003:27).
Perubahan sikap dan cara belajar siswa sebagaimana
disebutkan di atas baru sebatas asumsi dan akan bisa dipertanggungjawabkan
apabilla dilakukan penelitian yang mengarah pada hal tersebut, sehingga
perbedaan pandangan dari berbagai kalangan tentang penerapan kurikulum yang
baru dapat diminimalisir secara ilmiah. Hal tersebut penting karena selama ini
belum ada penelitian dasar yang mengupas perubahan aktivitas belajar siswa
ditinjau dari metode, motivasi, kreativitas, dan produktivitas siswa pada saat
diterapkan kurikulum terbaru.
Sebagaimana dimaklumi bahwa salah satu prinsip kurikulum
adalah harus meyediakan pengalaman-pengalaman yang membantu perkembangan
peserta didik dalam segi intelektual, jasmani, sosial, emosional, dan spiritual
(Oemar Hamalik, 2003:75). Oleh karena itu kurikulum yang ada secara substansial
dimaksudkan untuk menggerakkan semangat belajar para siswa sekaligus dapat
menemukan konsep yang matang dan bisa lebih akrab dengan karakteristis
psikologi perkembangan dalam diri siswa, hal ini masih perlu dicarikan
jawabannya secara autentik.
Jika terjadi perubahan apakah perubahan-perubahan
aktivitas belajar tersebut menyangkut dimensi yang substansial atau perubahan
yang sifatnya klasikal. Perubahan substansial artinya perubahan menyangkut
metode belajar, motivasi belajar, tingkat partisipasi aktif, dan produktivitas
belajar. Perubahan klasikal artinya model belajar berubah akan tetapi aktivitas
belajar tidak mengalami perubahan sama sekali (lebih banyak main-mainnya).
Penelitian ini ditujukan untuk dapat mendeskripsikan
perubahan-perubahan pada aktivitas belajar siswa pra dan pasca penerapan
kurikulum baru. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam penelitian ini
adalah selama ini banyak kalangan menilai bahwa kesuksesan implementasi
kurikulum sangat tergantung hanya pada tiga domain saja, yaitu kepala sekolah,
teman sejawat guru, dan kondisi internal guru itu sendiri. Dalam penelitian ini
akan membuktikan bahwa faktor siswa juga dapat dimasukkan sebagai indikator
tambahan bahkan bisa jadi indikator inti bagi terselenggaranya proses penerapan
kurikulum secara utuh.
RUMUSAN MASALAH
A. Rumusan Masalah
Perubahan kurikulum yang terjadi selama ini belum mampu
menggambarkan out put berupa perubahan pada sikap dan kemauan kuat siswa untuk
belajar secara maksimal. Realitas evidence
yang mengafirmasi hal tersebut adalah masih sering dijumpai adanya anak-anak
didik yang tawuran, membolos, absen, bahkan sampai pada upaya melawan guru.
Kita sudah sama-sama mahfum bahwa kurikulum mencakup segala sesuatu yang
mendukung tujtuan pendidikan atau kurikulum dapat diartikan sebagai suatu
sistem yang terpadu dalam segala dimensi pendidikan termasuk siswa itu sendiri.
Namun banyaknya perilaku menyimpang dari anak-anak didik tersebut di atas
adalah fakta yang masih dialami dan belum kunjung tuntas kita retas.
Permasalahannya adalah “apakah setiap implementasi
kurikulum yang baru diikuti oleh perubahan bentuk aktivitas belajar siswa ke
arah yang lebih posistif (belajar kreatif, aktif. Motivasi tinggi, dan
produktif)?”. Sebab dalam beberapa alasan perubahan kurikulum adalah karena
dianggap kurikulum sebelumnya masih belum mampu mendorong tercapainya tujuan
pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan dan mensejahterahkan. Hal menarik adalah
kita telah melakukan perubahan kurikulum beberapa kali akan tetapi perubahan ke
arah tujuan pembangunan nasional untuk memanusiakan manusia hingga kini belum
tercapai. Suatu fenomena yang masih membutuhkan keuletan dan ketekunan setiap
komponen pemerhati dunia pendidikan.
- Hipotesis
Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut, maka dapat disusun suatu hipotesis sebagai berikut:
1.
Hipotesis Alternatif
“Terdapat hubungan secara signifikan
antara implementasi kurikulum dengan model aktivitas belajar siswa SMA di Kota
Mataram”.
2.
Hipotesis Nihil
“Tidak ada hubungan yang signifikan
antara implementasi kurikulum baru dengan terjadinya perubahan pada model
aktivitas belajar siswa SMA di Kota Mataram”.
C. Definisi
1.
Kajian Implementasi adalah
penelaahan disertai analisa mengenai pelaksanaan atau penerapan dalam rangka mencari
bentuk.
2.
Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang dipergunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
3.
Aktivitas belajar adalah suatu
tindakan atau sikap yang dilakukan dalam
hubungan dengan upaya memahami tentang suatu fenomena baik sosial,
budaya, ekonomi, fisik, dan sebagainya.
4.
Siswa adalah seseorang atau
lebih yang sedang mengikuti proses
belajar pada setiap level pendidikan.
D.
Batasan Masalah
Penelitian ini bermaksud mengkaji hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku belajar pada saat diterapkannya suatu kurikulum
yang baru. Kurikulum baru dalam hal ini adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Sedangkan perilaku belajar yakni menyangkut aktivitas belajar siswa yang
berhbungan dengan keaktifan, produktifitas, dan intensitas belajar yang terjadi
pada siswa Sekolah Menengah Atas di Kota Mataram lebih khusus kelas II.
Pemilihan kelas II agar tidak mengganggu konsentrasi
belajar siswa Kelas III dan untuk kelas I di abaikan karena dianggap masih
transisi dari SMP sederajat. Adanya faktor lain yang mempengaruhi perilaku
belajar didwa tersebut diabaikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian Kurikulum
UU No. 20 tahun 2003 menguraikan
pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Kurikulum adalah program pendidikan
yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan
program pendidikan tersebut siswa
melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan (Oemar Hamalik, 2003).
Kurikulum sesungguhnya tidak
sesederhana yang diperkirakan melainkan sesuatu yang memberikan peluang kepada
semua orang untuk terlibat di dalamnya termasuk upaya memberikan bantuan kepada
siswa adalah bagian dari kurikulum. Rumusan tersebut sesuai dengan pendapat
Romine sebagai berikut “Curiculum is
interpreted to mean all of the organized course, activities, and experiences
which pupils have under the direction of the school, whether in the classroom
or not. (Oemar hamalik, 2003)”.
Merujuk pada rumusan tersebut,
kegiatan-kegiatan belajar tidak terbatas dalam ruang kelas, melainkan juga
kegiatan-kegiatan belajar di luar kelas. Meskipun kenyataannya para guru masih
berpendapat bahwa kurikulum adalah suatu proses yang terjadi dalam lingkungan
sekolah.
Kendatipun pendapat tersebut berbeda
dan terkesan bertolak belakang namun hal tersebut merupakan hal yang pokok
untuk diperdebatkan. Selanjutnya rumusan tersebut lebih spesifik dari kurikulum
adalah :
1. Kurikulum merupakan suatu
rencana/perencanaan.
2.
Kurikulum merupakan pengaturan,
berarti mempunyai sistematika dan struktur tertentu.
3.
Kurikulum memuat/berisikan isi
dan bahan pelajaran, menunjuk kepada perangkat mata ajaran atau bidang
pengajaran tertentu.
4.
Kurikulum mengandung cara,
metode, atau strategi penyampaian pengajaran.
5.
Kurikulum merupakan pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
6.
Kendatipun tidak tertulis,
namun terlah tersirat di dalam kurikulum, yakni kurikulum dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pendidikan.
7.
Berdasarkan butir 6 maka
kurikulum sebenarnya adalah suatu alat pendidikan. (Oemar Hamalik, 2003).
Saat ini yang tengah dihadapi adalah Kurikulum Berbasis
Kompetensi meskipun telah ada PP No. 19 tahun 2005 tentang adanya penyempurnaan
aspek-aspek kurikulum, namun penekanan substansinya adalah menghasilkan out put
yang memiliki kemampuan daya saing sumber daya manusia Indonesia di era global.
Secara filosofis Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah
untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui pembelajaran yang dimulai dengan
pengenalan, internalisasi, hingga
penerapan nilai-nilai dalam kehidupan nyata (Mumbrita, 2004).
Berubahnya kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis
Kompetensi dilatar belakangi oleh :
1.
Era persaingan global,
2.
Kemampuan SDM merupakan produk
lembaga pendidikan,
3.
Perlu standar kemampuan
lulusan,
4.
Perlu standar kemampuan MAPEL,
5.
Standar kompetensi MAPEL
dijabarkan menjadi kompetensi dasar, (Mumbrita, 2004).
Dengan demikian Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat diartikan
sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan
melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga
hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap
seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan,
pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik, agar dengan penuh
tanggung jawab. (Mulyasa, 2004).
Upaya implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
dimaksudkan untuk meningkatkan :
1.
Pengalaman belajar
2.
Strategi pembelajaran
3.
Sistem penilaian, dan
4.
Pelaporan hasil pembelajaran
(Kumaidi, 2005).
Berdasarkan deskripsi tersebut, maka seyogyanya setiap
perubahan kurikulum akan berimplikasi pada sikap belajar siswa. Intensitas
belajar siswa menghadapi Kurikulum Berbasis Kompetensi akan lebih tinggi dengan
metode yang lebih bervariasi karena tingkat persaingan yang cukup ketat dan
standar mutu signifikan.
3.2 Pengertian Belajar
Kata belajar telah sering didengar
dalam kehidupan sehari-hari yang identik dengan membaca dan siswa pergi ke
sekolah. Makna belajar tidak sederhana seperti makna tersebut akan tetapi lebi
luas, karena dalam belajar harus terarah dan mempunyai hasil berupa peningkatan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.
Teori Psikologi Gestalt sangat
berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar beberapa prinsip teori tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Tingkah laku terjadi berkat
interaksi anatara individu dan
lingkungannya, faktor herediter (natural
endowment) lebih berpengaruh,
2.
Bahwa individu berada dalam
keadaan keseimbangan yang dinamis, adanya gangguan terhadap keseimbangan itu
akan mendorong terjadinya tingkah laku,
3.
Belajar mengutamakan aspek
pemahaman (insight) terhadap situasi
problematik,
4.
Belajar menitikberatkan pada
situasi sekarang, dalam situasi tersebut menemukan dirinya, dan
5.
Belajar dimulai dari
keseluruhan dan bagian-bagian hanya bermakna dalam keseluruhan itu. (Oemar
Hamalik, 2003:41).
Belajar merupakan “suatu proses yang terjadi karena
adanya usaha untuk mengadakan perubahan
terhadap diri manusia yang melakukannya, dengan tujuan memperoleh perubahan
dalam dirinya, baik berupa pengetahuan, keterampilan ataupun sikap” (Suharsimi
Arikunto, 1980:38). Dalam definisi ini jelas bahwa hasil belajar adalah
perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Pengertian senada mengenai belajar oleh Slameto
(1995:18) menyatakan bahwa “belajar merupakan proses yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Selanjutnya Slameto menegaskan mengenai konteks yang terdapat dalam belajar,
yaitu :
a.
Perubahan terjadi secara
teratur,
b.
Perubahan dalam belajar
bersifat kontinyu dan fungsional,
c.
Perubahan dalam belajar
bersifat aktif dan positif,
d.
Perubahan dalam belajar
bertujuan dan terarah, dan
e.
Perubahan mencakup seluruh
aspek tingkah laku. (1995:19).
Skiner (dalam Dimiati dan Mudjiono) menyatakan bahwa
belajar merupakan suatu prilaku, pada saat belajar individu yang melakukannya akan
mempunyai respon yang lebioh baik dan sebaliknya akan mengalami penurunan
respon apabila individu bersangkutan tersebut tidak belajar, (1999:42).
a.
Kesempatan terjadinya peristiwa
yang menimbulkan respon belajar,
b.
Respon di pembelajar, dan
c.
Konsekuensi yang bersifat
menguatkan respon.
Gagne (dalam Dimiati dan Mudjiono, 1999:49) menyatakan
bahwa belajar adalah merupakan kegiatan yang kompleks, dimana hasilnya
merupakan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik (kapabiliti). Pembelajar
akan memperoleh keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Ditekankan oleh
Gagne, bahwa kapabiliti diperoleh karena stimulasi yang berasal dari lingkungan
dan proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar.
3.3 Implementasi Kurikulum dan
Aktivitas Belajar Siswa
Implementasi merupakan suatu proses
penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis
sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan
maupun nilai, dan sikap, (Mulyasa, 2004:93). Dalam Oxford Advance Leaner’s dikemukakan bahwa implementasi adalah : “Put something into effect”. (penerapan
sesuatu yang memberikan efek atau dampak).
Miller dan Siller (dalam Mulyasa, 2004:94) bahwa: “in some case implementation has been identied with instruction…” lebih
lanjut dijelaskan bahwa implementasi kurikulum merupakan suatu proses penerapan
konsep, ide, program, atau tatanan kurikulum ke dalam praktek pembelajaran atau
aktivitas-aktivitas baru, sehingga terjadi perubahan pada sekelompok orang yang
diharapkan untuk berubah.
Merujuk pada konsep di atas
implementasi kurikulum dapat diartikan sebagai perwujudan konsep dan gagasan
yang bersifat tekstual ke dalam bentuk aktivitas aktual yakni melalui program
pembelajaran.
Implementasi kurikulum sedikitnya
dipengaruhi oleh tiga faktor berikut :
a.
Karakteristik kurikulum; yang
mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna
di lapangan,
b.
Strategi implementasi; yaitu
strategi yang digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar,
penataran, lokakarya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang
dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan,
c.
Karakteristik pengguna
kurikulum, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap guru
terhadap kurikulum, serta kemampuannya
untuk merealisasikan kurikulum (curriculum
planning) dalam pembelajaran (Oemar Hamalik, 2004:94).
Memperhatikan konsep tersebut di atas maka sangat
jelaslah bahwa implementasi kurikulum tidak bisa terlepas dari subyek kurikulum
itu sendiri yakni siswa atau anak didik. Operasionalisasi kurikulum tidak akan
berjalan tanpa adanya faktor siswa meskipun beberapa ahli menilai bahwa
terdapat tiga faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu dukungan
kepala sekolah, dukungan rekan sejawat guru, dan dukungan internal yang datang
dari dalam diri guru itu sendiri.
Jelasnya bahwa proses implementasi kurikulum memuat
aktivitas interaksi diantara interaksi itu adalah interaksi antara guru dengan
murid. Sehingga besar pengaruhnya antara implementasi kurikulum dengan sasaran
dari implementasi itu sendiri. Pelaksanaan kurikulum yang baik apabila mampu
membangun semangat belajar dan tidak membosankan.
BAB III
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini untuk menjelaskan dampak implementasi
kurikulum terhadap perubahan perilaku belajar siswa Sekolah Menengah Atas.
Perubahan tersebut dapat dijelaskan dengan menganalisa perkembangan perilaku
belajar siswa pada saat sebelum pemberlakuan kurikulum baru dengan setelah
adanya kurikulum yang baru. Tentu saja hal tersebut dapat diukur dengan memperhatikan
pendapt siswa sendiri, berdasarkan pendapat tersebut akan diperoleh suatu
gambaran bahwa perilaku belajar siswa menunjukkan intensitas bertambah tinggi
atau biasa-biasa saja atau bahkan menurun.
Pada akhir penelitian ini akan dijelaskan bahwa kehadiran
kurikulum baru akan memiliki dampak atau tidak pada sikap belajar siswa sehingg
polemik tentang perubahan kurikulum yang telah terjadi beberapa kali dapat kita
komentari bermakna bagi perubahan perilaku belajar siswa atau justeru
sebaliknya tidak memiliki dampak sedikitpun terhadap bentuk aktivitas belajar
siswa atau bahkan mungkin antagonis.
Dengan demikian penelitian ini dimaksudkan untuk
menjelaskan secara ilmiah kepada publik bahwa setiap perubahan kurikulum
memiliki dampak bagi siswa. Apakah dampaknya negatif atau poisitif, adanya
fakta baru akan memudahkan kita menjelaskan makna perubahan kurikulum kepada
dua elemen masyarakat yang berpolemik antara yang setuju adanya perubahan
kurikulum dengan yang tidak setuju adanya perubahan kurikulum atau bahkam
bersikap apatis dengan perubahan yang ada.
BAB IV
METODE PENELITIAN
5.1 Variabel Peneltian
Variabel dalam penelitian ini dibagi
dalam dua variabel yakni:
a.
Variabel independen (variabel
bebas), yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah implementasi
kurikulum.
b.
Variabel dependen (variabel
terikat), yang menjadi variabel terikatnya adalah aktivitas belajar siswa SMA.
Metode yang Digunakan
Adapun metode penelitian yang
dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskripif “suatu metode penelitian
yang dapat melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi
tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat” (Jalaludin Rahmat,
1985). Dengan tujuan “Melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik
populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat” (Jalaludin
Rahmat, 1985).
Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan korelasional, Suharsimi Arikunto menjelaskan bahwa “pendekatan
korelasional adalah jenis penelitian yang mengkaji huubungan antara dua hal
atau lebih” (2004). Dalam penelitian ini akan diuraikan mengenai hubungan
antara implementasi kurikulum dengan perubahan prilaku belajar siswa pada
Sekolah Menengah Atas di Kota Mataram. Hubungannya tersebut dapat berlangsung
positif, atau tidak ada hubungan sama sekali bahkan bisa jadi negatif.
Seorang ahli menjelaskan mengenai hubungan
tersebut sebagaimana berikut :
Arah korelasi digolongkan menjadi tiga bagian, yakni arah korelasi
positif, arah korelasi negatif, dan arah korelasi nihil. Arah korelasi positif
dapat dijelaskan bahwa apabila variabel X meningkat akan diikuti dengan
meningkatnya variabel Y dan sebaliknya, jika variabel X menurun akan diikuti
secara sejajar dengan menurunnya variabel Y. sedangkan arah korelasi negatif
berarti apabila variabel sebaliknya, apabila variabel Y meningkat, maka akan
diikuti dengan menurunnya variabel X. arah korelasi nihil menunjukkan bahwa
kedua variabel tidak memiliki hubungan sama sekali (Sutrisno Hadi, 1980).
Pendekatan korelasional dapat pula
disebut pendekatan kuantitatif sebagaimana penjelasan seorang ahli sebagai
berikut :
Penelitian kuantitatif adalahsuatu proses menemukan pengetahuan yang
menggunakan data berupa angka sebagai alat menemukan keterangan menganai apa
yang ingin kita ketahui. Pada umumnya penelitian kuantitatif dapat dilaksanakan
juga sebagai penelitian pamerian atau penelitian deskriptif. Penelitian
kuantitatif dapat pula berupa hubungan atau penelitian korelasi… ( S. Margono,
2000).
Jadi penelitian ini mengguanakan
metode deskriptif kuantitatif melalui pendekatan korelasional, penggunaan
metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan korelasional dimaksudkan untuk
mengukur hubungan antara implementasi kurikulum yang baru dengan perubahan
perilaku belajar siswa Sekolah Menengah Atas di Kota Mataram.
Sementara itu yang menjadi subyek
dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Atas di Kota Mataram.
Mengingat jumlah siswa SMA di kota
Mataram cukup banyak, maka dilakukan pemilihan sekolah dengan cara perwakilan
yakni 2 (dua) Sekolah Menengah Atas Negeri dan 2 (dua) Sekolah Menengah Atas
Swasta. Untuk menunjukkan perwakilan masing-masing sekolah tersebut dilakukan
dengan cara acak (random sampling). Setelah dilakukan pemilihan acak terhadap
yang mewakili sekolah yang ada, maka dari perwakilan sekolah tersebut akan
dipilih perwakilan siswa sebanyak 15% (siswa kelas II). Pemilihan siswa Kelas
II untuk mengurangi terjadinya kendala teknis seperti waktu dan tingkat
pemahaman siswa terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Sehingga hasil
penelitian ini dimaksudkan dapat menerangkan secara lugas permasalahan yang ada
sekaligus mengurangi semaksimal mungkin kesalahan-kesalahan teknis.
5. 3. Rancangan Penelitian
1. Tahap Persiapan
Langkah pertama adalah melakukan
observasi lapangan sekaligus persiapan kebutuhan-kebutuhan dasar yang
diperlukan yaitu surat-surat penelitian dan komunikasi awal dengan pihak
sekolah setelah sebelumnya dilakukan proses penentuan subyek melalui sistem
acak oleh peneliti. Setalah itu melakukan penentuan jumlah responden termasuk
identitas dari responden yang diperoleh dari sekolah yang bersangkutan melalui
arsip dan dokumen sekolah. Selanjutnya membuat angket yang berhubungan dengan
aktivitas belajar siswa selama implementasi kurikulum.
2. Uji
Kelayakan angket
Sebelum angket disebarkan perlu
diperhatikan relevansi angket dengan model data yang diinginkan. Angket yang
benar adalah angket yang disusun dengan menggunakan bahasa baku dan mengarah kepada kontek materi yang
diteliti sehingga pertanyaan yang diajukan tidak membingungkan atau bahkan
tumpang tindih.
Angket dibuat dengan memperhatikan
kaidah-kaidah akademis yakni pertanyaan tidak berbelit-belit, pertanyaan tidak
berulang-ulang, menggunakan bahasa sederhana dan baku, dan mengarah pada tujuan penelitian.
Sebelum angket disebarkan peneliti akan melakukan konsultasi kepada yang telah berpengalaman
melakukan penelitian dengan metode angket sehingga angket tersebut dapat
dianggap efektif oleh peneliti yang menelaah permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya.
3. Penyebaran
Angket dan Pengumpulan Angket
Langkah pertama agar angket dapat
tersebar ke seluruh subyek tentu saja harus melibatkan pihak sekolah.
Dengan kata lain peneliti harus
menciptakan kerjasama yang baik dengan pihak sekolah agar proses penelitian dapat
berjalan secara baik, adanya kesamaan pandangan antara sekolah dengan peneliti
akan sangat membantu lancar tidaknya proses penelitian. Hal tersebut juga
dimaksudkan agar siswa sebagai subyek dapat merespon pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan secara baik dan terbuka. Pada akhirnya antara peneliti dan yang
diteliti dapat berinteraksi secara baik dan menghasilkan out put penelitian
yang ilmiah.
Angket-angket tersebut dibawa pulang
oleh responden untuk dijawab di rumah masing-masing kemudian di kembalikan pada
saat yang ditentukan oleh peneliti. Idealnya angket akan diajukan sebanyak 2
(dua) kali dengan pertanyaan yang sama, hal tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui tingkat konsistensi siswa dalam menjawab pertanyaan sebelum dan
sesudahnya.
Selanjutnya pengumpulan angket serta
data-data dokuemntasi lainnya, data dokumen diperoleh dari sekolah yang
bersangkutan. Standar jumlah angket yang terkumpul adalah 75% dari seluruh
angket yang disebar. Pemberian standar tersebut perlu dilakukan mengingat
keterbatasan peneliti untuk dapat mengetahui adanya faktor X yang menjadi
kendala bagi responden selama waktu pengisian angket diberikan.
5.4 Analisis Data
Untuk mengukur hubungan dari
kedua variabel, maka metode yang dipergunakan adalah metode statistik dengan
rumus r product moment sebagai berikut.
(Suharsimi Arikunto : 244)
Keterangan :
rxy = Korelasi variabel X dan Y
N = Jumlah
sampel
∑XY = Jumlah variabel XY
∑X2 = Jumlah variabel X2
∑Y2 = Jumlah variabel Y2
Penggunaan formula r dalam product moment adalah untuk mengukur
hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dengan variabel terikat dalam
hal ini kegiatan implementasi kurikulum dengan aktivitas belajar siswa SMA di
Kota Mataram.
5.5. Penafsiran dan Penyimpulan
Proses penafsiran
dilakukan setelahs emua hasil rekapitulasi data yang di analisis telah dapat
diukur melalui uji signifikansi dengan taraf signifikansi 5%. Hasil dari
perhitungan tersebut dapat dicek dalam tabel uji signifikansi. Untuk dapat
menafsirkan data tersebut tentunya dapat dibandingkan antara nilai hasil
rekapitulasi dengan nilai yang ada dalam tabel. Jika nilai r dalam tabel lebih
besar dari nilai r hitung maka Hipotesis alternatif diterima yang berarti
penelitian Signifikan dan sebaliknya jika nilai t tabel lebih kecil dari r
hitung maka hipotesis nihil diterima yang berarti hasil penelitian tidak
signifikan.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Deskripsi Daerah Penelitian
Penelitian dilakukan di empat
sekolah di wilayah Kota Mataram adapun sekolah dimaksud adalahs ebagai berikut:
1.
Sekolah Menengah Umum Negeri 05
Mataram
2.
Sekolah Menengah Umum Negeri 07
Mataram
3.
Sekolah Menengah Umum
Muhammadiyah Mataram
4.
Sekolah Menengah Umum
Al-Ma’arif Mataram.
Keempat sekolah
tersebut merupakan representasi dari sejumlah Sekolah Menengah Atas di Kota
Mataram. Dikatakan
representatif karena 4 sekolah tersebut dapat mewakili 2 SMA swasta dan juga 2
SMA negeri. SMA Negeri 05 merupakan Sekolah Menengah Atas yang tergolong cukup
maju dan merupakan saingan dari SMA N 1 Mataram, sedangkan SMA N 07 merupakan
SMA N yang tergolong cukup baru dan sering diidentikan dengan SMA N yang cukup
repot diurus karena siswa-siswanya kebanyakan berasal dari pinggiran kota dan
wilayah pesisir. Sementara itu SMA Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai SMA swasta
yang cukup baik bila dibandingkan dengan SMA swasta lainnya sedangkan SMA
Al-Ma'rif tidak cukup lebih baik dari
SMA Muhammadiyah Mataram.
Memperhatikan keadaan masing-masing SMA tersebut di atas dapat dikatakan
bahwa sampel dalam penelitian ini cukup mewakili keadaan SMA lainnya di wilayah
kota Mataram.
6.2 Merubah Hipotesis
Alternatif menjadi Hipotesis Nihil
Sebelum
dilakukan penelaahan terhadap data yang ada terlebih dahulu dilakukan perubahan
hipotesis, yakni dari hipotesis alternatif menjadi hipotesis nihil adalah “Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara implementasi
kurikulum dengan model aktivitas belajar siswa SMA di Kota Mataram”.
6.3 Rekapitulasi Data
Hasil Penelitian
Dari 120 responden yang diharapkan oleh responden
merespon angket yang telah disebarkan di empat Sekolah (2 sekolah negeri dan 2
sekolah swasta). Masing-masing siswa di sekolah tersebut memiliki respon
terhadap angket berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah angket yang
terkumpul yakni hanya sebanyak 105 angket dari 160 angket yang diharapkan. Akan
tetapi hasil tersebut tidak mengurangi keakurasian penelitian ini mengingat
jumlah angket telah lebih dari 50% dari jumlah angket yang disebarkan.
Sebagaimana telah peneliti maklumi dalam metode
pengumpulan data bahwa dalam pengumpulan data tidak menutup kemungkinan
terjadinya hal yang tidak diinginkan seperti rendahnya jumlah responden dalam
menyikapi isi angket dan sebagainya yang merupakan kendala lain yang
mempengaruhi selama proses penelitian dilakukan.
Adapun angket yang disebarkan berisi tentang :
1.
Pemahaman siswa tentang
perubahan kurikulum (Variabel X) sebanyak 10 Pertanyaan dengan kategori jawaban
A, B, dan C. masing-masing jawaban diberi skor berdasarkan urutan pilihan yakni
3 untuk jawaban A, 2 untuk jawaban B, dan 1 untuk jawaban C. Dengan demikian
nilai maksimal yang diperoleh oleh siswa jika menjawab A semuanya adalah
sebanyak 30.
2.
Angket tentang aktivitas
belajar siswa (variabel Y) dengan ketentuan pilihan yang sudah jelas yakni Ya
dengan skor 1 dan Tidak dengan skor 0.
Angket tentang model aktivitas belajar siswa yakni
menyangkut; apakah aktivitas belajar siswa mengalami perkembangan yang berarti
dilihat dari jadwal belajar, lama waktu belajar, keaktifan dalam kelompok
belajar, inisiatif untuk membentuk kelompok belajar atau mengkuti bimbingan
belajar. Jumlah angket untuk kategori kedua yakni sebanyak 10 soal dengan nilai
maksimal yakni 10.
Berikut peneliti akan menggambarkan hasil perolehan
angket yang telah disebarkan di empat sekolah di Mataram tersebut.
4.5 Interpretasi Data
Berdasarkan hasil r
hitung diperoleh nilai sebesar 0,586 dan untuk penelitian ini peneliti
menggunakan taraf signifikansi 5%. Adapun hasil r dalam table diperoleh nilai
sebesar 0,195. Dengan demikian berdasarkan kaidah penelitian jika r-hitung
lebih besar dari r-table maka hipotesis yang diajukan dapat diterima sedangkan
jika r hitung lebih kecil dari r-tabel maka hipotesis yang diajukan ditolak.
Jadi hipotesis kerja
yang diajukan dalam penelitian ini yang berbunyi “Terdapat hubungan secara
signifikan antara implementasi kurikulum dengan model aktivitas belajar siswa
SMA di Kota Mataram” dinyatakan diterima
yang berarti hipotesis nihil dinyatakan ditolak.
4.6 Pembahasan
Secara kuantitatif
hasil penelitian di atas menunjukkan signifikan, namun demikian perlu peneliti
sampaikan beberapa hal secara kualitatif tentang adanya inkonsistensi jawaban
yang disampaikan oleh siswa terhadap angket yang peneliti ajukan, sehingga kita
dapat mengkaji secara lebih mendalam lagi tentang isi penelitian ini.
Dapat dikatakan bahwa
terdapat inkosistensi jawaban dari responden sehubungan dengan pertanyaan yang
diajukan dalam angket, seperti berikut:
- Pada angket Nomor 6 tentang pendapat siswa terhadap perubahan kurikulum rata-rata siswa menjawab setuju atau 72% dari jumlah responden yang ada, sedangkan pada soal berikutnya yakni soal terakhir tentang pendapat siswa jika kurikulum dikembalikan ke kurikulum lama juga responden menjawab rata-rata setuju atau sebanyak 70%.
Jawaban
responden tersebut dapat terjadi karena beberapa hal:
a. Siswa-siswa belum memahami secara mendalam
makna perubahan kurikulum bagi dunia pendidikan,
b. Proses sosialisasi kurikulum belum
diselenggarakan secara serempak oleh pihak pelaksana pendidikan, sekolah, guru,
dinas terkait, dan lain-lainnya.
c. Informasi tentang perubahan kurikulum
tidak utuh diterima oleh siswa sehingga sampai dengan sekarang siswa-siswa
masih kebingungan dengan perubahan kurikulum yang terus menerus, bahkan ada
kehawatiran siswa bahwa ”bukan tidak mungkin kurikulum yang baru akan terbit
lagi menggantikan kurikulum yang sedang berlaku sekarang”.
- Ditinjau dari aspek gender terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam merespon perubahan kurikulum yang ada, hal tersebut dapat terlihat dalam gambaran jawaban siswa berikut ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://wirmanvalkinz.blogspot.com/2013/01/kumpulan-karya-ilmiah-bahasa-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar