BAB I
PENDAHULUAN
Belakangan ini banyak orangtua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari demam, sakit kepala, dan berbagai alasan lainnya. Bagi orangtua yang anaknya masih kecil, pemogokkan ini tentu menimbulkan kebingungan lantaran alasan tersebut benar atau hanya dibuat-buat. Orangtua menjadi bingung untuk memaksakan anak tetap berangkat sekolah lalu nantinya anak menjadi stress, atau ternyata benar apa yang diungkapkan oleh si anak tersebut. Lantas bagaimana sikap yang harus dilakukan oleh orangtua?. Sementara itu, dilain pihak ada pula masalah orangtua yang bingung menghadapi penolakan anak yang sudah waktunya bersekolah tapi masih saja belum ingin masuk sekolah. Menghadapi kenyataan dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada ditangan mereka sehingga, tidak terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan mental anak nantinya. Dalam karya ilmiah ini penyusun akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan fobia sekolah (mogok atau tidak mau sekolah), faktor penyebabnya dan bagaimana orangtua harus menyiasati kondisi ini.
B. Rumusan Masalah
Dalam karya ilmiah ini, penyusun akan membahas mengenai pengertian Fobia Sekolah, penyebab, lamanya waktu dan tanda-tanda yang ditimbulkannya.
C. Tujuan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
- Mendeskripsikan mengenai anak yang mengidap fobia sekolah.
- Menambah pemahaman kita tentang ciri-ciri anak yang mengidap fobia sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata “fobia” menurut Baker Encyclopedia of Psychology and Counseling adalah obyek atau situasi-situasi yang tidak berbahaya. Secara singkat Ivan Ward dalam buku yang berjudul Phobia mendefinisikan bahwa fobia adalah sebagai ketakutan yang tidak masuk akal. Fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul ataupun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat, atau hari Minggu/libur. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14–15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru ataupun ketika ia menghadapi suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya.
B. Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah
Para ahli menunjukkan adanya beberapa tingkatan school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu:
- Initial school refusal behavior adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.
- Substantial school refusal behavior adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.
- Acute school refusal behavior adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah.
- Chronic school refusal behavior adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.
Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria fobia sekolah ataupun school refusal, yaitu:
- Menolak untuk berangkat ke sekolah.
- Mau datang ke sekolah tetapi tidak lama kemudian minta pulang.
- Pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menunjukkan “tantrum” nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dsb.) ataupun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya.
- Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang, dan ini berlangsung selama periode tertentu.
- Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.
- Keluhan fisik yang dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya.
- Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.
- Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah.
- Senang berdiam diri di dalam kamar dan kurang mau bergaul.
Berapa lama waktu berlangsung fobia sekolah amat tergantung pada penaganan yang dilakukan oleh orangtua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah (tidak mendapat penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai dan makin sering/intens keluhan yang dilontarkan anak. Namun, makin cepat ditangani, problem biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1 atau 2 minggu. Anak yang mengalami fobia sekolah selalu memiliki alasan untuk tidak masuk sekolah, sehingga dalam hal ini orangtua khususnya harus jeli dalam memahami kebutuhan anaknya. Fobia sekolah perlu penanganan serius. Tujuan penanganan utama adalah agar anak segera kembali ke sekolah. Semakin lama tidak sekolah, maka semakin sulit si anak untuk kembali.
E. Faktor Penyebab Fobia Sekolah
Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah. Orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atapun keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia sekolah dan school refusal:
1. Separation Anxiety
Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18-24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun (pre schooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, ataupun mainannya, tapi merekapun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah. Separation auxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat, dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua. Singkat kata, tidak ada masalah dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada anak-anak usia balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan inilah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis. Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan pajang ataupun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi daripada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, dengan berjalannya waktu, anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah. Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbangkan terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya, sikap orangtua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri, keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut kalau-kalau anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu dalam proteksi, pelayaan dan pengawalan melekat dari orangtua. Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.
2. Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan ataupun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut mendapat nilai buruk di sekolah. Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yag tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” diperjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan. Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengespresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disbutkan di atas.
3. Problem Dalam Keluarga
Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua ataupun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggungjawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah itu orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.
4. Pola Hubungan Orangtua dan Anak yang Tidak Sehat
Yang dimaksud adalah sikap orangtua yang tidak dapat memperlakukan anak-anak sebagai pribadi yang seutuhnya. Orangtua cenderung overprotective, selalu mengatur, pilih kasih dan lain-lain. Atau sebaliknya, orangtua kurang peduli, terlalu sibuk dengan pekerjaan sendiri dan mengabaikan tanggung jawabnya dalam rumah tangga. Akibatnya, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak sehat.
F. Penanganan Terhadap Anak yang Mengalami Fobia Sekolah
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah antara lain:
1. Tetap menekankan pentingnya bersekolah
Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang hari demi hari.
Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya. Kemungkinan besar anak-anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orang tua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orang tua. Jika ternyata pada suatu hari orang tua akhirnya “luluh”, maka keesokan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya di sekolah.
2. Berusahalah untuk tegas dan konsisten
Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum ataupun rajukan ank yang tidak mau sekolah. Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah ataupun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok maka sebaiknya orang tua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri karena dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orang tua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana. Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah kalau perlu ditemani/diantar orangtua. Demikian juga sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang, dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Kadang keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.
3. Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter
Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak. Orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dan sebagainya), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokterpun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, ataukah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama.
4. Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah
Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah ataupun school refusal (terutama guru-guru pre-school hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru ataupun school assistant untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak berisitirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi yang membuatnya cemas, gelisah, dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.
5. Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak
Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas, atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga. Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak-anak makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
6. Lepaskan anak secara bertahap
Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan barunya yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pada beberapa sekolah, orangtua atau pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah biasa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya. Maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.
7. Konsultasikan pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi berlarut-larut
Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius, maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga, namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya). Untuk itulah konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak.
BAB III
PENUTUP
Fobia sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius, namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar menjadi masalah serius. Beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria school refusal, antara lain mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang, pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dan sebagainya) ataupun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya. Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang. Tidak masuk sekolah selama beberapa hari karena keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, atau sakit kepala. Penyebabnya antara lain karena anak mengalami separation anxiety, tekanan di dalam rumah, seperti ayah ibu sering bertengkar sehingga mengganggu konsentrasi belajar, pengalaman negatif di sekolah, orangtua terlalu protektif, diejek teman sekolah dan masih banyak lagi yang lainnya. Bila fobia sekolah pada anak masih belum kronis, ayah ibu bisa melakukan terapi sendiri dengan cara tetap mengharuskan anak sekolah setiap hari. Menurut para ahli kejiwaan, obat manjur menghadapi rasa takut adalah dengan melawannya. Orangtua harus berusaha untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum ataupun rajukan anak yang tidak mau sekolah. Konsultasikan kesehatan anak dengan dokter. Luangkan waktu untuk berdiskusi dengan anak, barangkali anak menemui kesulitan di sekolahnya. Terakhir, bekerjasama dengan guru atau asisten lain di sekolah sehingga keseharian anak bisa terpantau.
B. Saran
Hendaknya orangtua bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan anak ini. Alangkah baiknya, orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri. Berhati-hatilah membuat diagnosa secara subjektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluahan anak semata.
referensi : http://winnchuleta.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar