Islam adalah agama kebebasan dan pembebasan. Sekalipun secara literal
Islam memiliki aturan yang bersifat mengikat, namun, Islam tetap
memberikan kebebasan dalam menafsirkan aturan itu, sesuai dengan konteks
zamannya. Salah satu ajaran utama dalam Islam yang memiliki spirit
kebebasan dan pembebasan adalah toleransi. Dalam hal ini, toleransi demi
terwujudnya keharmonisan umat beragama dan semua umat manusia pada
umumnya. Ya, menuai makna toleransi dalam menegakkan kebebasan beragama
dan berkeyakinan merupakan sebuah keharusan. Terlebih jika dihadapkan
dengan sejumlah fenomena-fenomena intoleransi disekeliling kita dewasa
ini, keberadaannya tidak jarang menyebabkan kegentingan. Tak pelak
akibat, tindakan-tindakan intoleransi; mulai dari intimidasi hingga
terorisme—di Indonesia khususnya—telah menjadi laris dari sebagian
kelompok atau ormas.
Perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bingkai toleransi
sebetulnya Islam telah memberikan legetimasi eksplisit, seperti misalnya
tertera dalam QS. Al-Kahfi [18], 29, Tuhan berfirman: “Dan katakanlah,
kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
hendaklah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan neraka bagi
orang-orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi
yang mendidih, yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk
dan tempat istirahat yang paling jelek.”
Dari ayat diatas, Tuhan benar-benar hendak “menganjurkan” untuk
membebaskan manusia dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam sabda
tersebut, Tuhan memberikan pilihan antara iman dan kafir. Konsekuensi
dari ayat tersebut diatas, menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan
dalam keseragaman beragama dan berkeyakinan, melainkan dalam keberagaman
sebagai sunnatullah dan manusiawi yang tak dapat dibantah oleh
siapapun.
Hikmah lain yang terkandung didalamnya, bahwa ini merupakan wujud
ke-Mahakuasaan Tuhan dalam berkehendak. Juga berarti, Tuhan sama sekali
tidak memiliki ketergantungan terhadap makhluk-Nya (qiyamuhu binafsihi),
ia berdiri sendiri dan tidak bergantung apalagi tergantung makhluk-Nya.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat
dijamin keberadaannya oleh konstitusi, seperti tertuang dalam UUD 1945
Pasal 29 ayat 1 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan pasal ini, (dalam konteks
Indonesia) seluruh warga Indonesia dengan berbagai macam latar belakang
agama, suku, ras, budaya, jenis kelamin dan sebagainya, wajib dipenuhi
dan dilindungi hidup beserta hak-haknya oleh Negara. Berkait kelindan
dengan pasal ini, Djohan Effendi—Cendekiawan Muslim
Indonesia—berpendapat bahwa pluralitas agama (dan keyakinan) ini adalah
anugerah Tuhan yang seyogyanya harus disyukuri.
Dalam pada itu, jika kemudian ada individu, kelompok, ataupun ormas yang
mengklaim sebagai pihak yang paling benar, sementara yang lain salah,
hanya karena ia beragama Islam ataupapun lainnya, maka sesungguhnya ia
telah mengambil alih wewenang Tuhan sebagai penentu mutlak kebenaran.
Dengan demikian, persoalan label sesat, kafir, dan sejenisnya oleh
kelompok tertentu terhadap yang lain (yang berbeda), Imam Al-Qurtubi pun
memandang bahwa ayat tadi jelas-jelas telah membuktikan, Tuhanlah
satu-satunya pihak yang berwenang dalam menentukan kebenaran
keberagamaan dan keyakinan seseorang.
Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali dalam karya masterpiece-nya Argumen
Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009),
sebagaimana mengutip pendapatnya Jawdat Said (dalam menafsirkan QS.
Al-Baqarah [2]: 256) menyatakan bahwa, tidak ada pemaksaan dalam agama.
Dengan interpretasi yang cukup logis, lanjut Moqsith, ketimbang para
mufasir yang lain, Jawdat Said menguraikan yang dimaksud dengan
pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghay (kesesatan) dan ini adalah jalan
salah. Sedang yang dimaksud dengan (alla ikrah) adalah al-rusyd
(kebenaran) dan inilah jalan yang benar (al-thariq al-shahih). Lebih
lanjut Jawdat Said menafsir kata “thaguth” sebagai orang-orang yang
memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh
karakter orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Dari sini, kita
dapat melihat secara jelas perbedaaan antara paksaan dan pemaksaan.
Gerakan intoleransi seperti diatas, ditengarai Zuhairi Misrawi berasal
dari genderang Wahabisme, paham yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab pada abad ke 18. Sebagaimana diketahui, gerakan Wahabisme ini
mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang bertolak belakang dengan
kalangan moderat. Paham yang mengarah pada puritanisme disatu sisi, dan
ekstrimisme disisi lain.
Kalangan wahabi juga mempunyai slogan kembali kepada Al-Qur’an dan
sunnah, secara kasat mata tidak begitu bermasalah, karena sudah menjadi
sebuah keharusan umat Muslim untuk berpegang pada dua sumber otoritatif
itu. Namun disisi lain, kekeliruan terbesar dalam memaknai “kembali”
kepada Al-Qur’an dan sunnah versi Wahabi lah yang akan menggiring pada
sebuah nalar dan sikap yang bersifat puritanistik-absolut. Dengan
mengklaim hanya pendapat kelompoknya (Wahabi) yang benar, sementara
pendapat kelompok lain dianggap salah, sesat, bahkan kafir.
Sikap ekslusif-absolut seperti ini pula lah yang kemudian berimplikasi
pada sikap membenci kalangan non-Muslim, dengan alibi bahwa non-Muslim
adalah kelompok kafir sehingga sebagian umat Muslim melarang bergaul
dengan non-Muslim ataupun dengan komunitas Islam yang berbeda mazhab
(aliran), karena sebab mereka adalah penganut jalan kesesatan dan ahli
neraka. Pandangan semacam ini tentu saja bukan hanya sebuah bentuk ironi
melainkan pula telah bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri,
sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran [3]: 113-114, yang berbunyi:
“Mereka tidaklah sama, diantara orang-orang ahlul kitab terdapat umat
yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud
kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak
pada kebajikan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam
kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang shaleh.” Ayat ini secara
eksplisit menjelaskan bahwa, sekalipun (secara literal) tidak resmi
beragama Islam, namun perilaku mereka (ahlul kitab) adalah cerminan
perilaku shalih dalam Islam.
Kembali pada persoalan intoleransi di Indonesia, sebagaimana mengacu
pada catatan Moderate Muslim Society (MMS) sepanjang tahun 2010, wajah
intoleransi telah terjadi 81 kasus dengan berbagai karakteristiknya.
Dari berbagai karakteristik wajah intoleransinya itu, ada benang merah
yang dapat ditarik dan bertemu pada satu kesimpulan, yakni
ketidakmampuan dan ketidakberdayaan untuk merajut dialog secara dingin
dan terbuka. Kenyataan pahit ini lagi-lagi (masih menurut catatan MMS)
kasus-kasus yang terkait dengan atas nama agama, dengan capaian 73% dari
81 kasus tersebut diantaranya menimpa naas kelompok Kristen dan
Ahmadiyah.
Kalau sudah demikian, benarkah Islam melegitimasi intoleransi? Jika ya,
apakah gunanya beragama jika hanya membuat orang lain terancam? Jika
tidak, sikap apa yang perlu dibangun generasi muda Muslim serta umumnya
masyarakat Indonesia? Tak bisa ditawar lagi, bahwa peran yang harus
secepatnya diambil adalah toleransi sebagai bentuk sikap kaum moderat,
terutama dalam mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang membawa rahmat
bagi semesta. Sebab, sebagaimana mengutip pendapat Michael Walzer (1997)
memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang
publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai
(peacefull coeexistensi) diantara pelbagai kelompok masyarakat perbedaan
latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas.
Sebagaimana Walzer, Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracy (2007),
juga memberikan pandangan lanjutan yaitu toleransi dalam konteks
demokrasi harus mampu membangun pengertian dan saling menghargai
ditengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.
Dari pandangan tokoh diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa transformasi
dari intoleransi ke toleransi merupakan sebuah keniscayaan, terutama
dalam membangun sebuah tatanan kehidupan dan peradaban sebuah bangsa.
Meski mengambil jalan toleransi bukan hal yang mudah, namun setidaknya
kita dapat memulai sedari munculnya kesadaran tentang implikasi negatif
dari tindakan intoleran.
Kalau ditelusuri dari akar katanya, toleransi berasal dari bahasa Latin,
yaitu “tolerantia”, yang berarti kelonggaran, kelembutan hati,
keringanan, dan kesabaran. Oleh karena itu Zuhairi Misrawi
(2010)—sebagaimana mengutip Asyraf Abdul Wahhab—memberikan penjabaran
terkait toleransi sebagai sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada
orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah
dan berbeda.
Sedangkan dalam bahasa Arab, toleransi sepadan dengan kata al-tasamuh,
dimana toleransi merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang
trans-historis dan trans ideologis, yang kedudukannya sejajar dengan
pokok-pokok ajaran Islam lain seperti rahmat (kasih sayang), ‘adl
(keadilan), tawazun (keseimbangan), dan lain sebagainya. Dari telaah
semacam ini, umat Muslim wajib bukan hanya menyampaikan tetapi juga
melaksanakan ajaran toleransi untuk diketengahkan kepada masyarakat
luas. Karena bagaimanapun, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukan
untuk membela satu golongan tertentu atau mendiskriminasi golongan
tertentu, justru hendak mempersatukan umat manusia di tengah
keanekaragaman, karena keanekaragaman dan perbedaan bukan penghalang,
sebaliknya akan menjadi pengokoh untuk semakin terpupuknya rasa
persatuan dan kesatuan. Sebab yang demikian inilah sejatinya Islam
rahmatan lil’alamin. Islam yang dapat hidup secara damai dan
berdampingan dengan apapun komunitasnya (agama dan keyakinannya) dan
siapapun orangnya.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi siapapun untuk kemudian membenci
orang lain hanya karena ia berbeda identitas, terlebih bukan pemeluk
agama Islam. Dari uraian bahaya laten intoleransi hingga upaya
transformasi intoleransi ke toleransi, penulis merumuskan beberapa
upaya-upaya yang dapat dijadikan sebagai kran pembuka sekaligus peneguh
dalam membangun nalar kritis dalam mewujudkan toleransi atas kebebasan
beragama dan keyakinan.
Pertama, melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks Al-Qur’an maupun
Sunnah yang (secara literal/kasat mata) bernuansa intoleransi, menuju
tafsir yang bernuansa toleran dan moderat. Upaya ini dapat dilakukan
dengan menafsirkan al-Qur’an dengan mempertimbangkan sebab-sebab turun
(asbab al-Nuzul) dan kontekstualisasinya.
Kedua, bersikap inklusif dan respect terhadap penganut agama dan
keyakinan lain, yakni dengan mendudukkan semua manusia (apapun latar
belakangnya) dengan setara dan ia berhak menentukan nasib atas dirinya
sendiri, tanpa ada pemaksaan. Dari poin penting ini, mempunyai
konsekuensi logis bahwa sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, sudah
sepatutnya saling melindungi dan menghargai satu sama lain, antara
Muslim dengan non-Muslim. Dari sikap terbuka dan respect ini pula, akan
dapat mengeliminir sikap menutup diri, mengasingkan dari golongan yang
berbeda ataupun sikap esklusif lainnya.
Ketiga, melakukan dialog yang santun. Dengan berdialog, satu sama lain
akan terjalin sebuah komunikasi yang bersifat simbiosa mutualisma,
saling menguntungkan, saling melengkapi satu sama lain, saling menegur
sapa jika ada kekeliruan. Mengutip pandangan Cak Nur (Nurcholish Madjid)
bahwa dengan dialog akan terbentuk sebuah persilangan budaya hibrida,
yakni terjalinnya sebuah kebudayaan yang unggul untuk kepentingan
perdamaian dan peradaban bangsa. Dari dialog pula, akan membuahkan sikap
saling pengertian terutama dalam menyikapi keberbedaan, untuk kemudian
dapat terciptanya budaya toleransi diatas perbedaan dan keberagaman.
Walhasil, tantangan yang akan dihadapi generasi muda Muslim dan juga
masyarakat pada umumnya akan semakin berat, karena koridornya tidak
hanya sebatas dalam intern umat segama, beragama di Indonesia, melainkan
pula hidup dalam konteks global-universal. Genderang Islam toleran dan
moderat sebagaimana misinya rahmatan lil’alamin, sejatinya dibumikan,
entah dalam olah wacana maupun gerakan pemberdayaan masyarakat.
Demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar